Selasa, 14 Juni 2016

Pendekatan Qur’ani dalam Bimbingan dan Konseling Islam

Edit Posted by with No comments
A.    Pengertian Bimbingan Konseling Dengan Pendekatan Qur’ani
Hakekat bimbingan dan konseling Islami adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah, dengan cara memberdayakan (enpowering) iman, akal, dan kemauan yang dikaruniakan Allah Swt. kepada individu untuk mempelajari tuntunan Allah dan rasul-Nya, agar fitrah yang ada pada individu itu berkembang dengan benar dan kokoh sesuai tuntunan Allah Swt.
Dari rumusan diatas, dikatakan bahwa konseling Islami adalah aktifitas yang bersifat “membantu”, karena pada hakekatnya individu sendirilah yang perlu hidup sesuai tuntunan Allah (jalan yang lurus) agar mereka selamat. [1]
Pihak yang membantu adalah konselor, yaitu seorang mu’min yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang tuntunan Allah dan mentaatinya. Bantuan itu terutama berbentuk pemberian dorongan dan pendampingan dalam memahami dan mengamalkan syari’at Islam. Dengan memahami dan mengamalkan syari’at Islam itu diharapkan segala potensi yang dikaruniakan Allah kepada individu agar bisa berkembang optimal. Akhirnya diharapkan agar individu menjadi hamba Allah yang muttaqin mukhlasin, mukhsinin, dan mutawakkilin; yang terjauh dari godaan syetan, terjauh dari tindakan maksiat, dan ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.
Karena posisi konselor bersifat membantu, maka konsekuensinya individu sendiri yang harus aktif belajar memahami dan sekaligus melaksanakan tuntunan Islam (Al-Qur’an dan sunnah rasul-Nya). Pada akhirnya diharapkan agar individu selamat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati di sunia dan akhirat, bukan sebaliknya kesengsaraan dan kemelaratan di dunia dan akhirat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut diatas maka dibuatlah model pendekatan Qur’ani dalam bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling Qur’ani adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah, dengan cara memberdayakan (enpowering) iman, dan kemauan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya untuk mempelajari tuntunan Allah dan Rasul-Nya, agar fitrah yang ada pada individu itu berkembang dengan benar dan kokoh sesuai tuntunan Allah SWT. [2]

B.     Alasan Pentingnya Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Rujukan Dalam Konseling
Ada beberapa alasan pentingnya menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan dalam konseling:
  1. Subjek yang dibimbing Allah adalah manusia, manusia adalah ciptaan Allah SWT. Allah tentu lebih mengetahui rahasia makhluk ciptaan-Nya, Allah tentu lebih mengetahui potensi yang dikaruniakan kepada mereka dan bagaimana perkemmbangannya, Allah tentu lebih mengetahui bagaimana pula mengatasinya. Hasbi menyatakan bahwa tidak mungkin membangun manusia hanya berpegang pada pengalaman tanpa petunjuk dari dzat yang maha menciptakan manusia.
  2. Informasi-informasi penting untuk membantu mengembangkan dan mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia terdapat dalam Al-Qur’an yang dibawa oleh baginda Rasulullah SAW. Oleh karena itu, dalam memahami Al-qur’an perlu dipahami pula sunnah rasulNya.
  3.  Al-Qur’an adalah panduan hidup bagi manusia, ia adalah pedoman bagi setiap pribadi dan undang-undang bagi seluruh masyarakat. Didalamnya terkandung pedoman praktis bagi setiap pribadi dalam hubungannya dengan Tuhannya, keluarga, lingkungan sekitar, sesama muslim, non muslim baik yang berdamai maupun yang memeranginya, serta untuk diri sendiri. Individu yang mengikuti panduan ini pasti selamat dalam hidupnya di dunia maupun akhirat
  4.  Al-qur’an adalah kitab suci yang dijamin terpelihara keasliannya oleh Allah, dan bagi siapa yang hendak memahaminya, Allah memudahkan pemahamannya.
  5.  Al-Qur’an sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran islam dan berfungsi sebagai petunjuk atau  pedoman bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
  6. Untuk membimbing manusia dibutuhkan pegangan berupa rujukan yang benar dan kokoh., padahal tidak ada rujukan yang paling benar dan lebih kokoh selain yang bersumber dari Allah SWT[3]

C.    Tujuan Bimbingan dan Konseling Qur’ani
Dalam kegiatan bimbingan, individu perlu dikenalkan siapa sebenarnya dia, aturan yang harus dipatuhi, larangan yang harus dijauhi, serta tanggung jawab dari apa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia. Dalam belajar memahami diri dan memahami aturan Allah yang harus dipatuhi tidak jarang mereka mengalami kegagalan, oleh sebab itu mereka membutuhkan bantuan khusus yang disebut “konseling”.
Arah yang ditempuh dalam melakukan pelayanan konseling adalah menuju pada pengembangan fitrah dan atau kembali kepada fitrah. Dari rumusan ini bisa dipahami bahwa dorongan dan atau pendampingan belajar tersebut dimaksudkan agar secara bertahap individu mampu mengembangkan fitrah dan sekaligus kembali kepada fitrah yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya.
Dari rumusan diatas tampak pula bahwa bimbingan dan konseling Qur’ani bukan hanya bersifat “developmental” tetapi juga “klinis”, artinya dalam konseling Qur’ani nilai-nilai agama (Al-Qur’an) bukan hanya dijadikan rujukan bagi pengembangan fitrah tetapi juga rujukan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi individu, konseling Qur’ani bukan hanya berorientasi pada pengembangan potensi, tetapi juga membantua individu mengatasi hal-hal yang bisa merusak perkembangan potensi (fitrah). [4]
Tujuan bimbingan dan konseling Qur’ani dibagi menjadi tiga bagian, yakni sebagai berikut
  1. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai melalui kegiatan bimbingan adalah agar individu memahami dan mentaati tuntunan Al-Qur’an. Dengan tercapainya tujuan jangka pendek ini diharapkan individu yang dibimbing dapat terbina iman (fitrah) individu hingga membuahkan amal saleh yang dilandasi dengan keyakinan yang benar yakni:

a.       Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang harus selalu tunduk dan patuh pada segala aturan-Nya.
b.      Selalu ada kebaikan (hikmah) di balik ketentuan (taqdir) Allah yang berlaku atas dirinya
c.       Manusia adalah hamba Allah, yang harus ber-ibadah kepada-Nya sepanjang hayat.
d.      Ada  fitrah  (iman)  yang dikaruniakan Allah  kepada  setiap  manusia,  jika  fitrah
iman dikembangkan dengan baik, akan menjadi pendorong, pengendali, dan sekaligus pemberi arah bagi fitrah jasmani, rohani, dan nafs akan membuahkan amal saleh yang menjamin kehidupannya selamat di dunia dan akhirat.
e.    Esensi iman bukan sekedar ucapan dengan mulut, tetapi lebih dari itu adalah membenarkan dengan hati, dan mewujudkan dalam amal perbuatan.
f.       Hanya dengan melaksanakan syariat agama secara benar, potensi yang dikaruniakan Allah kepadanya bisa berkembang optimal dan selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat yang tampil dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah dalam melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya, dan ketaatan dalam beribadah sesuai tuntunan-Nya.[5]
2. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah agar individu yang dibimbing secara bertahap bisa berkembang menjadi pribadi kaffah, dan secara bertahap mampu mengaktualisasikan apa yang diimaninya itu dalam kehidupan sehari – hari, yang tampil dalam bentuk kepatuhan terhadap hokum-hukum Allah dalam melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi, dan ketaatan dalam beribadah dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya[6]
3.   Tujuan akhir yang ingin dicapai melalui bimbingan adalah agar individu yang dibimbing selamat dan bisa hidup bahagia di dunia dan akhirat.[7]

D.    Langkah-Langkah dan Proses Bimbingan Konseling Qur’ani
 Langkah-langkah dan proses bimbingan konseling antara lain dapat di dasarkan pada QS. Yunus [10]: 57 yang artinya :

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman )QS. Yunus [10]: 57. [8]
Ayat di atas menegaskan adanya empat fungsi Al-Qur’an, yaitu: pengajaran, obat,
petunjuk dan rahmat. Penerapan terhadap empat fungsi ini, dapat dibentangkan secara bertahap bahwa pengajaran Al-Qur’an untuk pertamakalinya menyentuh hati yang masih diselubungi oleh kabut keraguan, kelengahan dan aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan pengajaran itu, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan beralih sedikit demi sedikit menjadi kewaspadaan. Demikian pula dari saat ke saat yang akan datang, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an menjadi obat bagi aneka ragam penyakit ruhani. Dari sini, jiwa manusia akan menjadi lebih siap meningkat dan meraih petunjuk tentang pengetahuan yang benar dan makrifat tentang Allah.
Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas adalah mengisyaratkan pada jiwa manusia akan mencapai derajat dan keuntungan secara sempurna bila berpegang teguh pada al-Qur’an melalui empat tahapan, yaitu:
1.      Tahap dan proses membersihkan segala aktivitas yang tampak dengan meninggalkan berbagai tindakan yang tidak patut dilakukan sebagaimana di isyaratkan dalam kata al-mau`idhah.
2.      Membersihkan prilaku psikologis dari berbagai keruskan akidah dan dari berbagai prangai yang tercela sebagaimana diisyaratkan dalam ayat syifa’ lima fi al-shudur.
3.      Menghiasi jiwa dengan akidah yang benar dan akhlak terpuji. Hal ini tidak bisa didapatkan kecuali dengan hidayah.
4.      Pemusatan terhadap cahaya rahmat ilahiah dengan jiwa yang sempurna dan siap menerima kesempurnaan lahir maupun batin.[9]

Keempat langkah yang terkait dengan langkah-langkah bimbingan konseling sebagaimana di atas sebenarnya dapat disederhanakan menjadi tiga tahap. Yakni :
1.       proses takhalli, yaitu pembersihan terhadap hal-hal yang bersifat lahiriah, sperti prilaku, tindakan dan aktivitas yang menyimpang (mauidhah) dan bersifat batiniah, seperti kekeliruan akidah, dan akhlak yang tercela (syifa’).
2.      proses tahalli, yaitu pemberian dan pengisian jiwa yang bersih dengan akidah yang benar dan akhlak terpuji (hidayah).
3.      proses tajalli, yaitu pemusatan ruhaniah atau spiritual tertinggi menuju tinggkatan rabbaniah dan ilahiah (yang disebut sebagai rahmat).

Jika konseling merujuk pada nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci dan sunnah rasul, maka diyakini hasilnya lebih optimal. Namun demikian, dalam konseling Qur’ani  ini tidak dilarang menggunakan rujukan ilmu pengetahuan, sejauh tidak bertentangan dengan tuntunan agama.[10]

E.     Implikasi dan Posisi Bimbingan Konseling Qur’ani dalam Dunia Konseling
Bimbingan konseling Qur’ani dengan berbagai bentuk dan karakterisknya, akan berimplikasi secara signifikan bagi orang-orang yang berkenan merespon dan mengindahkannya, baik melalui pendengaran, penghayatan dan tindakan, baik secara harfiah maupun maknawiyahnya, maka al-Qur’an tetap memberikan manfaat bagi yang meresponnya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki keimanan terhadap al-Qur’an dengan segala bentuk dan karakteristiknya, maka boleh jadi al-Qur’an tidak akan memberikan manfaat apa-apa kecuali semakin membuat kerugian untuk selama-lamanya.
Implikasi bimbingan konseling Qur’ani dalam kehidupan umat manusia antara lain dapat dipetakan menjadi tiga aspek, yaitu:
1.      Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan kerohanian yang berada di dalam hati, sebagaimana diisyaratkan dalam QS Yûnus [10/51]: 57
2.      Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan jasmaniah yang terkait dengan fisik manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Nahl [16/70]: 69
3.      Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan secara holistik (ijtimaiyyah) yang terkait dengan masyarakat dan lingkungannya.[11]

Posisi konseling Qur’ani dalam dunia konseling pada umumnya bisa dilihat dari dua sisi, yaitu : 
  1. Dilihat dari Al-Qur’an sebagai rujukan dalam membantu mengembangkan potensi individu dan atau membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi individu, maka bimbingan dan konseling Qur’ani adalah rujukan untuk berbagai arena setting, dan
  2. tema konseling. Hal ini disebabkan Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang pasti bagi manusia seluruhnya dan kitab bagi seluruh bidang kehidupan. Baik dalam kehidupan pribadi, kelompok, keluraga, kehidupan bersama, pendidikan, pernikahan, pekerjaan, menghadapi musibah, sakit dan pengobatan, hingga kehidupan sesudah mati.
  3. Dilihat dari bimbingan dan konseling Qur’ani sebagai suatu model yang memiliki pandangan hidup tentang hakekat manusia yang paling komprehensif, defenisi konseling, tujuan konseling, peran dan fungsi konselor, tata hubungan konseli dengan konselor, prosedur dan teknik sendiri, dan tidak sama dengan pendekatan yang lain. Maka konseling Qur’ani adalah salah satu dari “model konseling” dengan tema khusus dalam lingkup agama Islam.[12]


F.     Hal - hal yang Perlu Diperhatikan Konselor dalam Menerapkan Bimbingan Konseling Qur’ani
Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, perlu diingat bahwa :
1.      Konselor harus muslim dan individu yang dibimbing pun harus muslim. Jika konselornya bukan pemeluk agama islam, maka dikhawatirkan akan terkesalahan-kesalahan dalam memahami dan memaknai informasi yang bersumber dari agama
2.      Individu yang dibimbing juga harus muslim, jika bukan orang muslim seyogyanya tidak digunakan, sebab saran-saran yang harus diikuti dalam pendekatan inni bermuatan ibadah. Tidak akan mungkin ibadah didirikan jika tidak ada fondasi iman dibawahnya. Namun demikian, dalam hal-hal yang bersifat umum (bukan bermuatan ibadah) bisa juga model ini digunakan pada konseli non-muslim.
Konselor bukan hanya sekadar apa yang diucapkan tetapi lebih dari itu adalah apa yang ditampilkan oleh diri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya konselor dalam melaksanakan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling harus :
  1. Sudah sewajarnya dan bahkan seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi diri sendiri, anggota keluarga dan individu yang dibimbingnya meskipun ada orang lain yang tidak menyukainya
  2.  Kewajiban seorang muslim jika ajaran Al-Qur’an telah sampai padanya maka ia sami’na wa atho’ na (saya mendengar dan saya patuh)
  3. Hanya dengan rajin membaca dan memelajari dan mematuhi tuntutan Al-qur’an, kehidupan diri dan keluarga akan tentram dan patut diteladani orang yang dibimbing
Dengan mendalami Al-Qur’an secara benar, dimungkinkan akan menambah profesionalitas konselor karena lebih mampu menjawab masalah sepanjang zaman. Hal hal yang dapat dilakukan oleh konselor yang ingin menekuni pendekatan ini, yakni sebagai berikut :

1.  Yakinlah bahwa al-Qur’an adalah rujukan yang paling kokoh disepanjang zaman untuk membimbing manusia di alam semesta ini, ia adalah panduan yang dibuat oleh
Dzat Maha Menciptakan manusia guna keselamatan manusia di dunia dan akhirat
2.    Diperlukan waktu panjang untuk bisa memahami kandungan Al-Qur’an secara benar, oleh sebab itu perlu menyisihkan waktu khusus dengan niat tulus untuk secara rutin belajar bahasa Al-Qur’an.
3.     Bagi yang belum bisa membaca AL-qur’an dengan lancer, perlu membaca Al-qur’an secara benar, banyak media yang bisa dimanfaatkan untyk belajar Al-Qur’an antara lain menggunakan aplikasi Holy Qur’an. Kalau orang buta dan anak-anak saja banyak yang mampu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an secara baik, bukankah orang dewasa dan bisa membaca lebioh mungkin untuk memahami dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu, jangan pesimis, tetapi yakinlah bahwa Allah SWT berkuasa untuk memudahkannya.
4.     Ada baiknya secara bertahap belajar tafsir Al-qur’an baik langsung kepada ahlinya maupun melalui buku-buku tafsir Al-Qur’an dan juga buku-buku yang ditulis dengan mendasarkan AL-qur’an sekalipun hanya setengah jam dalam sehari
5.      Jauhi tindakan maksiat sekecil apapun sebab ilmu Allah tidak mau melekat pada ahli maksiat
6.      Jauhi pula makanan dan minuman yang haram agar jiwa selalu bersih dan tenang
7.      Biasakan bergaul dengan orang-orang shaleh agar diri selalu terjaga[13]

Tidak ada teori buatan manusia yang kokoh sepanjang zaman, sementara problem yang dihadapi manusia semakin berat dan sulit, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu mampu menjangkaunya. Teori yang mengandung kebenaran abadi hanya Al-Qur’an yang datang datang dari Dzat yang maha mengetahui masa lalu dan masa datang yang mengetahui yang Nampak mata dan yang ghaib, yang kandungannya sempurna dan kebenarannya mutlak sepanjang zaman.
Hampir tidak ada bidang kehidupan ini yang tidak disebut dalam Al-Qur’an, baik kehidupan saat ini, sebelum lahir dan kehidupan sesudah mati. Seorang konselor hendaknya mencari rujukan dalam menyelesaikan masalah apa saja ada rambu-rambunya dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Namun demikian, hasilnya tidak selalu cepat bisa dilihat secara cepat dengan mata, hal ini dimungkinkan karena :
  1.  Caranya belum benar
  2. Ada prasyarat yang belum terpenuhi
  3. Mungkin keberhasilan itu ditunda oleh Allah sekadar untuk menguji kesabaran hambanya
  4. Mungkin Allah tidak meridhoi “sesuatu” (upaya, permintaan, aktivitas) yang dilakukan seseorang karena sebenarnya ada hikmah yang untuk sementara waktu belum ditampakkkan oleh Allah.

Oleh sebab itu, jika ternyata dalam praktik belum berhasil, seyogyanya tidak lekas berputus asa, mungkin perlu mengoreksi diri.

G.    Kesimpulan
Bimbingan dan Konseling Qur’ani adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah, dengan cara memberdayakan (enpowering) iman, dan kemauan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya untuk mempelajari tuntunan Allah dan Rasul-Nya, agar fitrah yang ada pada individu itu berkembang dengan benar dan kokoh sesuai tuntunan Allah SWT.
Bimbingan dan konseling Qur’ani bukan hanya bersifat “developmental” tetapi juga “klinis”, artinya dalam konseling Qur’ani nilai-nilai agama (Al-Qur’an) bukan hanya dijadikan rujukan bagi pengembangan fitrah tetapi juga rujukan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi individu, konseling Qur’ani bukan hanya berorientasi pada pengembangan potensi, tetapi juga membantua individu mengatasi hal-hal yang bisa merusak perkembangan potensi (fitrah).
Implikasi bimbingan konseling Qur’ani dalam kehidupan umat manusia antara lain dapat dipetakan menjadi tiga aspek, yaitu:
  1. Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan kerohanian yang berada di dalam hati, sebagaimana diisyaratkan dalam QS Yûnus [10/51]: 57
  2. Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan jasmaniah yang terkait dengan fisik manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Nahl [16/70]: 69
  3. Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan secara holistik (ijtimaiyyah) yang terkait dengan masyarakat dan lingkungannya.




[1] Anwar Sutoyo. 2009. Bimbingan dan Konseling Islami. Semarang: Widya Karya Semarang, hal 23
[2] https://binham.wordpress.com/2012/04/06/bimbingan-dan-konseling-islami/ diakses tanggal 20 November 2015 pukul 07 : 20 WIB
[3] Anwar, sutoyo. Op,cit. hlm 34
[4] Anwar Sutoyo. Op. cit. hal 25
[5] http://eprints.umk.ac.id/1042/6/5_-_Gudnanto.pdf  Diakses tanggal 20 November 2015 pukul 08 : 15 WIB
[6] Sutoyo,Anwar.2007.Bimbingan dan Konseling Islami (Teori dan Praktek). Semarang: Cipta Prima Nusantara
[7] Sutoyo Anwar. op,cit. hlm 29  
[8] file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/18-61-1-PB.pdf diakses tanggal 18 November 2015 pukul 07:02
[9] file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/18-61-1-PB.pdf diakses tanggal 18 November 2015 pukul 07:02
[10] Anwar sutoyo, op,cit. hlm 26
[11] file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/18-61-1-PB.pdf diakses tanggal 18 November 2015 pukul 07:02
[12] Anwar Sutoyo. Op. Cit. hal 29
[13] Anwar Sutoyo. Op,cit . hlm 31 

SIKAP TOLERAN DAN DEMOKRATIS (PENGEMBANGAN PRIBADI KONSELOR)

Edit Posted by with No comments

A.    Pengertian Sikap Toleran
Menurut kamus bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwodarminto pengertian sikap adalah perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma norma yang ada di masyarakat dan biasanya norma agama. Namun demikian perbuatan yang akan dilakukan manusia biasanya tergantung apa permasalahannya serta benar-benar berdasarkan keyakinan atau kepercayaannya masing-masing.[1]
Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own. [2]
Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu “tolerantia”, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran.  Secara umum istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia. Untuk itu toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan sikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleran adalah bersifat atau bersikap menegang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Menurut Habib Adnan, sikap toleran (toleransi) merupakan bagian dari hubungan antar sesama individu, sekaligus sebagai ekspresi fitrah manusia selaku makhluk sosial. Pengertian ini mengandung aspek sebagai berikut :
1.      Hubungan antar sesama individu,
2.      Saling menghormati perbedaan setiap kekurang individu tersebut.
Dari definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah suatu bentuk dari seseorang untuk menghargai pendapat orang lain, tolong menolong, saling menghormati , membiarkan dalam hubungan antar sesama manusia selaku manusia mahluk sosial untuk menjalankan dan menentukan sikap, tidak melanggar, dan terciptanya kertertiban dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya, dan didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agama, suku, golongan, ideologi, atau pandangannya. Dengan kata lain, toleransi memiliki batasan – batasan ide, atau gagasan maupun tindakan yang akan di toleran.
Seorang yang toleran berani mengadakan wawancara atau berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.[4]
Bentuk sikap toleran dapat diaplikasikan terutama ketika menggunakan metode Rasional-Emotif. Menurut Ellis, manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya serta dapat mengubah diri dan lingkungannya. Perilaku ini didorong oleh kebutuhan, hasrat, tuntutan, keinginan yang ada dalam dirinya. Konsekuensi reaksi yang dimunculkan seperti senang, sedih, frustasi dan sebagainya bukanlah akibat dari peristiwa yang dialami individu melainkan disebabkan karena cara berfikir atau system kepercayaannya. Atau dengan kata lain metode ini digunakan untuk memahami manusia sebagaimana adanya. Jadi dalam metode ini, konselor dituntut untuk bisa memahami cara berfikir atau system kepercayaan klien sehingga konselor benar-benar mendapatkan akar masalah klien dengan valid atau akurat,

B.     Bentuk Sikap Toleran yang Harus Dimiliki oleh Konselor
Bertolak dari Undang-Undang RI No.20/Tahun 2003 Pasal (1) yang menyatakan pendidikan merupakan “…usaha sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatas spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”
Maka konselor seyogyanya memiliki ciri kepribadian menghargai harkat dan martabat manusia dan hak asasinya serta bersikap demokratis. Karakteristik ini menunjuk kepada suatu perlakuan konselor terhadap konseli dengan didasarkan pada anggapan bahwa konseli sama dengan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan martabat mulia. Konseli memiliki hak asasi yang harus dihargai dan tidak boleh diabaikan dalam perlakuan-perlakuan konselor kepadanya. Disamping itu, konselor tidak boleh membeda-bedakan perlakuan kepada konseli. Hendaknya konseli diperlakukan sama dan sederajat baik dengan konselor maupun dengan konseli lainnya.
Corey mengemukakan bahwa konselor juga mau dan mamapu menerima dan memberikan toleransi terhadap ketidakmenentuan. Karena pertumbuhan ditandai dengan ditinggalkannya sesuatu yang sudah biasa dan memasuki sesuatu yang tidak atau belum dikenal. Ketidakmenentuan (ambiguity) dalam hidup tidak dianggap sebagai ancama, tetapi merupakan sesuatu yang menarik. Maksudnya ketika membentuk kekuatan-kekuatan ego dalam proses rasional-emotif, konselor mengambangkan karakteristiknya yang menggambarkan lebih percaya diri, lebih percaya pada proses intuitif, sehingga konseli lebih ingin tahu atau terdorong untuk melakukan eksperimen-eksperimen dengan perilaku baru, dan lebih percaya pada perasaan—perasaan dan pertimbangan diri sampai pada pemahaman bahwa mereka dapat dipercaya oleh orang lain khususnya konseli. Sehingga konseli merasa yakin dan percaya kepada si konselor untuk menceritakan masalahnya.[5]
Dalam Mappiare dan Lutfi dijelaskan bahwa toleran berarti dapat menerima konseli apa adanya. Toleransi secara penuh diwujudkan konselor dengan cara sebagai berikut :
1.      Memandang keburukan perilaku, kesalahan, atau ketidakmampuan konseli merupakan bagian utuh dari diri konseli;
2.      Membiarkan konseli mengungkapkan buah pikirannya tentang diri, lingkungan, dan mungkin tentang konselor, apapun bentuk yang dia pilih (sepanjang masih dalam batas kewajaran); dan
3. Menghindari sejauh mungkin perlakuan kritik, celaan, sampai konseli merasa aman menerimanya. Dalam masyarakat Jawa, toleran membentuk kehidupan rukun dan memiliki kedudukan amat penting dalam masyarakat Jawa.[6]
Konselor harus menghormati budaya dan tradisi konseli. Konselor berhak mengubah kebiasaan yang merugikan atau menghambat perkembangan konseli, memberikan pengarahan dan pemahaman dengan cara halus, tidak menerapkan punishment  (hukuman), serta menunjukkan keakraban agar konseli merasa nyaman, aman, dan percaya pada konselor.[7]
Disamping rumusan diatas, dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad, sikap toleran yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, yakni :
1.      Pembimbing/Konselor menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
2.  Pembimbing/Konselor tidak membedakan klien atas dasar suku bangsa, warna  kulit, kepercayaan atau status social ekonominya.[8]
Sikap toleran dalam proses konseling juga telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya, toleransi nabi terlihat dalam hadis tentang orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan dalam keadaan puasa. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata yang artinya:
"Ketika kami duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seseorang lalu berkata: 'Ya Rasulullah,  celakalah  aku'.  Rasul   bertanya:  ' Apa   yang   mencelakakanmu ?'  Ia menjawab: 'Saya menggauli istri Saya, sedangkan Saya berpuasa (Ramadhan). Rasulullah SAW bertanya: 'Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?', Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?' Ia pun menjawab: 'Tidak'. Berkata Abu Hurairah, 'Maka pergi Nabi SAW, sesaat kemudian kami melihat Nabi SAW datang membawa sekerangjang kurma', Nabi bertanya: 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Maka dia menjawab: 'Saya', Bersabda Nabi: 'Ambillah olehmu kurma ini, maka sedekahkanlah' Maka bertanya laki-laki itu: 'Apakah ada orang yang lebih faqir dariku wahai Rasulullah? Maka demi Allah, tidak ada orang di antara dua bukit (kota Madinah) yang lebih faqir dari pada keluargaku'. Maka tertawalah Nabi SAW sehingga kelihatan giginya, lalu ia bersabda: 'Berilah makan keluargamu dengannya'". (H.R. Bukhari)
Dua hadis di atas menunjukkan kebijaksanaan sekaligus sikap toleransi Nabi kepada para sahabatnya yang sedang bermasalah dan meminta agar Rasul membantunya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kemudian Nabi SAW memahami kondisi dan kemampuan masing-masing sahabat dan tidak menerapkan hukum yang kaku tanpa melihat persoalan yang sesungguhnya. Begitulah Rasulullah SAW membina kepribadian sahabat sehingga mereka taat melaksanakan risalah yang dibawanya dengan suka hati, tanpa merasa terpaksa.[9]
Individu merupakan makhluk sosial dan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing (unik). Oleh karena itu konselor di sekolah dituntut untuk berpandangan positif dan tidak membeda-bedakan peserta didik. Mampu memahami dan menghargai kelebihan serta kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Setiap individu mempunyai potensi yang perlu dikembangkan dan penyaluran yang tepat. Maka konselor mempunyai kewajiban untuk dapat mengembangkan dan menyalurkan pada tempat yang tepat.
Selain itu, bentuk lain dari sikap toleran konselor kepada peserta didik (kliennya) dapat dilihat ketika konselor yang dipercaya siswa dalam segala persoalannya maka konselor wajib menghargai siswa tersebut dengan cara merahasiakan semua persoalan pribadi yang dialami peserta didik dimana siswa tersebut tidak ingin orang lain mengetahui persoalannya. Sikap toleran juga bisa dilihat ketika konselor menghadapi klien yang sedang mengalami masalah stress. Dalam masalah ini, konselor mentolerir stress yang dialami klien dengan tidak memprotes apa yang dirasakan kliennya, namun ia justru memberi semangat dan motivasi agar kliennya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya itu.

C.    Pengertian Demokratis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demokratis adalah bersifat demokrasi atau bercirikan demokrasi. Demokrasi sendiri merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua pesertanya.
Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-ccratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan Negara dimana system pemerintahan kedaulatannya berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.[10]
Dalam kaitannya dengan konseling, Demokratis yang dimaksudkan sebagai karakter kepribadian konselor adalah sikap keterbukaan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan bimbingan konseling.
Seperti yang dikemukakan Rogers, setiap manusia adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan kuat untuk selalu bergerak kemuka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstruktif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Selain itu Rogers juga beranggapan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri.
Sikap  demokrasi  (demokratis)  dibutuhkan  dalam  proses  layanan  bimbingan dan konseling terutama ketika menerapkan metode Client-centered.  konselor lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien.

D.    Bentuk Demokratis yang Harus Dimiliki oleh Konselor
Di dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli. Konselor menerima konseli apa adanya dan bersedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis.
Konselor dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dadanya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa agar dapat mengungkapkan gagasan dan pikirannya ketika melaksanakan pelayanan konseling. Freirw mengatakan bahwa pendekatan yang membebaskan dalam arti konselor berperan sebagai facilitative a comvortable atau memfasilitasi kenyamanan  akan lenih membuat klien untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang nyata secara kritis. Sehingga membuat konselor lebih mudah dalam menganalisis masalah yang dikemukakan peserta didik.
Dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad, demokratis yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, yakni :
1.   Pembimbing/Konselor terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan kepadanya, dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkahlaku professional sebagaimana dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan konseling
2.      Konselor memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengennai alasan digunakannya tes  psikologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi klien
3.     Hasil tes psikologi harus diberitahukan kepada klien dengan disertai alasan-alasan tentang  kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan kepada pihak lain, sejauh pihak yang  diberitahu itu ada hubungannnya dengan usaha bantuan pada klien dan tidak merugikan      klien sendiri.[11]
Perwujudan demokratis dapat juga dilihat melalui kegiatan menghargai perbedaan. menerima perbedaan pendapat secara wajar, jujur dan terbuka serta saling menghormati. terbuka dan berani mengakui dan menerima bahwa pendapatnya belum tentu atau tidak dapat digunakan pada saat itu, atau dengan kata lain tidak dapat memaksakan kehendak satu sama lain.[12]
Carey mengungkapkan konselor juga harus terbuka terhadap perubahan dan mau mengambil risiko yang lebih besar. Mereka mengembangkan diri lebih luas dan menyadari bahwa makin banyak tuntutan makin besar resiko yang dihadapi. Mereka menunjukkan keinginan-keinginan dan keberanian untuk meninggalkan zona aman dari situasi yang sudah dikenalnya serta berrani menerima hal-hal baru yang belum diketahui dan memaksa mengetahui potensi diri yang belum dikenal mereka. jika sikap ini telah diaplikasikan dalam diri konselor, maka konselor dapat menjadi panutan atau model yang dapat dicontoh sebagai acuan dalam perubahan sikap perilaku individu.
Adminde menyatakan bahwa karakteristik kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor adalah sebagai berikut :
1.   Pendengar yang aktif, menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangat penting karena menunjang dengan penuh kepedulian, merangsang dan memberanikan klien untuk beraksi secara spontan terhadap konselor, menimbulkan situasi yang mengajarkan, klien membutuhkan gagasan gagasan baru.
2.      Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya. Konselor harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia umumnya dan siswa khususnya, misalnya memberikan kebebasan memilih. Ciri konselor yang mengembangkan kebebasan memilih, yaitu :
a.       Tidak pernah menyalahkan orang lain
b.      Tidak berprasangka negative terhadap orang lain
c.       Tidak menghadapi kebuntuan pikiran
d.      Melihat peluang yang tersedia
e.       Tidak bersifat menilai (judgemental)
Memberikan kebebasan memilih sangat penting dilakukan konselor misalnya dengan tidak menyalahkan keputusan siswa karena keputusan dalam konseling berada pada klien, tidak berprasangka negative atas pilihan siswa namun sebaliknya yaitu memberikan motivasi terhadap pilihan siswa tersebut karena konselor harus berfikiran jauh kedepan seperti melihat peluang baik dalam pilihan keputusan yang diambil klien (peserta didik) tersebut. Selain itu, konselor juga tidak boleh bersifat menilai (judgemental), tetapi konselor haruslah memotivasi dan memberikan pertimbangan agar siswa bisa berfikir dewasa serta bijak mengambil keputusan.

E.  Kesimpulan
Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu “tolerantia”, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya, tetapi didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agama, suku, golongan, ideologi, atau pandangannya. Seorang yang toleran berani mengadakan wawancara atau berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.
Dalam Mappiare dan Lutfi dijelaskan bahwa toleran berarti dapat menerima konseli apa adanya. Toleransi secara penuh diwujudkan konselor dengan cara sebagai berikut :
1.      memandang keburukan perilaku, kesalahan, atau ketidakmampuan konseli merupakan bagian utuh dari diri konseli;
2.      membiarkan konseli mengungkapkan buah pikirannya tentang diri, lingkungan, dan mungkin tentang konselor, apapun bentuk yang dia pilih (sepanjang masih dalam batas kewajaran); dan
3.      menghindari sejauh mungkin perlakuan kritik, celaan, sampai konseli merasa aman menerimanya. Dalam masyarakat Jawa, toleran membentuk kehidupan rukun dan memiliki kedudukan amat penting dalam masyarakat Jawa
Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Dalam kaitannya dengan konseling, Demokratis yang dimaksudkan sebagai karakter kepribadian konselor adalah sikap keterbukaan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan bimbingan konseling
Dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad, demokratis yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, yakni :
1.      Pembimbing/Konselor terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan kepadanya, dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkahlaku professional sebagaimana dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan konseling
2.      Konselor memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengennai alasan digunakannya tes psikologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi klien
3.      Hasil tes psikologi harus diberitahukan kepada klien dengan disertai alasan-alasan tentang kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan kepada pihak lain, sejauh pihak yang diberitahu itu ada hubungannnya dengan usaha bantuan pada klien dan tidak merugikan klien sendiri.




[1] http://layananinfobk.blogspot.co.id/2013/04/bk-sosial-toleransi.html diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:17 WIB
[2] http://wardonojakarimba.blogspot.co.id/2011/12/toleransi.html diakses tanggal 28 Spetember 2015 pukul 7:25 WIB
[3] Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum.jurnal Toleransi dalam Masyarakat Plural.
[5] Mamat Supriana.2011.Bimbingan dan Konseling berbasis Kompetensi (orientasi dasar pengembangan profesi konselor.hlm 23-25
[6] Sari Titisandy.2011.Sikap Dasar Konselor Dan Teknik Pengubahan Tingkah Laku Khas Budaya Indonesia.Jurnal Universitas Negeri Malang
[7] Mappiare, A. 2006. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 99
[8] Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 84
[10] Riyanto, Achmad.2010.Konsep Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin Iskandar.Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[11] Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 85
[12] Nur Cahyati dkk.2012.Pengelolaan Pembelajaran Sikap Demokratis di SMP Muhammadiyah 1 Kartasura. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta hlm 5 


DAFTAR PUSTAKA

Mappiare, A. 2006. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta
Mamat Supriana.2011.Bimbingan dan Konseling berbasis Kompetensi (orientasi dasar pengembangan profesi konselor.Jakarta:Grafindo Persada
Nur Cahyati dkk.2012.Pengelolaan Pembelajaran Sikap Demokratis di SMP Muhammadiyah 1 Kartasura. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta hlm 5
Riyanto, Achmad.2010.Konsep Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin Iskandar.Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum.jurnal Toleransi dalam Masyarakat Plural.
Sari Titisandy.2011.Sikap Dasar Konselor Dan Teknik Pengubahan Tingkah Laku Khas Budaya Indonesia.Jurnal Universitas Negeri Malang
http://wardonojakarimba.blogspot.co.id/2011/12/toleransi.html diakses tanggal 28 Spetember 2015 pukul 7:25 WIB
http://layananinfobk.blogspot.co.id/2013/04/bk-sosial-toleransi.html diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:17 WIB