Selasa, 14 Juni 2016

SIKAP TOLERAN DAN DEMOKRATIS (PENGEMBANGAN PRIBADI KONSELOR)

Edit Posted by with No comments

A.    Pengertian Sikap Toleran
Menurut kamus bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwodarminto pengertian sikap adalah perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma norma yang ada di masyarakat dan biasanya norma agama. Namun demikian perbuatan yang akan dilakukan manusia biasanya tergantung apa permasalahannya serta benar-benar berdasarkan keyakinan atau kepercayaannya masing-masing.[1]
Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own. [2]
Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu “tolerantia”, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran.  Secara umum istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia. Untuk itu toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan sikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleran adalah bersifat atau bersikap menegang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Menurut Habib Adnan, sikap toleran (toleransi) merupakan bagian dari hubungan antar sesama individu, sekaligus sebagai ekspresi fitrah manusia selaku makhluk sosial. Pengertian ini mengandung aspek sebagai berikut :
1.      Hubungan antar sesama individu,
2.      Saling menghormati perbedaan setiap kekurang individu tersebut.
Dari definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah suatu bentuk dari seseorang untuk menghargai pendapat orang lain, tolong menolong, saling menghormati , membiarkan dalam hubungan antar sesama manusia selaku manusia mahluk sosial untuk menjalankan dan menentukan sikap, tidak melanggar, dan terciptanya kertertiban dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya, dan didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agama, suku, golongan, ideologi, atau pandangannya. Dengan kata lain, toleransi memiliki batasan – batasan ide, atau gagasan maupun tindakan yang akan di toleran.
Seorang yang toleran berani mengadakan wawancara atau berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.[4]
Bentuk sikap toleran dapat diaplikasikan terutama ketika menggunakan metode Rasional-Emotif. Menurut Ellis, manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya serta dapat mengubah diri dan lingkungannya. Perilaku ini didorong oleh kebutuhan, hasrat, tuntutan, keinginan yang ada dalam dirinya. Konsekuensi reaksi yang dimunculkan seperti senang, sedih, frustasi dan sebagainya bukanlah akibat dari peristiwa yang dialami individu melainkan disebabkan karena cara berfikir atau system kepercayaannya. Atau dengan kata lain metode ini digunakan untuk memahami manusia sebagaimana adanya. Jadi dalam metode ini, konselor dituntut untuk bisa memahami cara berfikir atau system kepercayaan klien sehingga konselor benar-benar mendapatkan akar masalah klien dengan valid atau akurat,

B.     Bentuk Sikap Toleran yang Harus Dimiliki oleh Konselor
Bertolak dari Undang-Undang RI No.20/Tahun 2003 Pasal (1) yang menyatakan pendidikan merupakan “…usaha sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatas spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”
Maka konselor seyogyanya memiliki ciri kepribadian menghargai harkat dan martabat manusia dan hak asasinya serta bersikap demokratis. Karakteristik ini menunjuk kepada suatu perlakuan konselor terhadap konseli dengan didasarkan pada anggapan bahwa konseli sama dengan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan martabat mulia. Konseli memiliki hak asasi yang harus dihargai dan tidak boleh diabaikan dalam perlakuan-perlakuan konselor kepadanya. Disamping itu, konselor tidak boleh membeda-bedakan perlakuan kepada konseli. Hendaknya konseli diperlakukan sama dan sederajat baik dengan konselor maupun dengan konseli lainnya.
Corey mengemukakan bahwa konselor juga mau dan mamapu menerima dan memberikan toleransi terhadap ketidakmenentuan. Karena pertumbuhan ditandai dengan ditinggalkannya sesuatu yang sudah biasa dan memasuki sesuatu yang tidak atau belum dikenal. Ketidakmenentuan (ambiguity) dalam hidup tidak dianggap sebagai ancama, tetapi merupakan sesuatu yang menarik. Maksudnya ketika membentuk kekuatan-kekuatan ego dalam proses rasional-emotif, konselor mengambangkan karakteristiknya yang menggambarkan lebih percaya diri, lebih percaya pada proses intuitif, sehingga konseli lebih ingin tahu atau terdorong untuk melakukan eksperimen-eksperimen dengan perilaku baru, dan lebih percaya pada perasaan—perasaan dan pertimbangan diri sampai pada pemahaman bahwa mereka dapat dipercaya oleh orang lain khususnya konseli. Sehingga konseli merasa yakin dan percaya kepada si konselor untuk menceritakan masalahnya.[5]
Dalam Mappiare dan Lutfi dijelaskan bahwa toleran berarti dapat menerima konseli apa adanya. Toleransi secara penuh diwujudkan konselor dengan cara sebagai berikut :
1.      Memandang keburukan perilaku, kesalahan, atau ketidakmampuan konseli merupakan bagian utuh dari diri konseli;
2.      Membiarkan konseli mengungkapkan buah pikirannya tentang diri, lingkungan, dan mungkin tentang konselor, apapun bentuk yang dia pilih (sepanjang masih dalam batas kewajaran); dan
3. Menghindari sejauh mungkin perlakuan kritik, celaan, sampai konseli merasa aman menerimanya. Dalam masyarakat Jawa, toleran membentuk kehidupan rukun dan memiliki kedudukan amat penting dalam masyarakat Jawa.[6]
Konselor harus menghormati budaya dan tradisi konseli. Konselor berhak mengubah kebiasaan yang merugikan atau menghambat perkembangan konseli, memberikan pengarahan dan pemahaman dengan cara halus, tidak menerapkan punishment  (hukuman), serta menunjukkan keakraban agar konseli merasa nyaman, aman, dan percaya pada konselor.[7]
Disamping rumusan diatas, dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad, sikap toleran yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, yakni :
1.      Pembimbing/Konselor menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
2.  Pembimbing/Konselor tidak membedakan klien atas dasar suku bangsa, warna  kulit, kepercayaan atau status social ekonominya.[8]
Sikap toleran dalam proses konseling juga telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya, toleransi nabi terlihat dalam hadis tentang orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan dalam keadaan puasa. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata yang artinya:
"Ketika kami duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seseorang lalu berkata: 'Ya Rasulullah,  celakalah  aku'.  Rasul   bertanya:  ' Apa   yang   mencelakakanmu ?'  Ia menjawab: 'Saya menggauli istri Saya, sedangkan Saya berpuasa (Ramadhan). Rasulullah SAW bertanya: 'Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?', Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?' Ia pun menjawab: 'Tidak'. Berkata Abu Hurairah, 'Maka pergi Nabi SAW, sesaat kemudian kami melihat Nabi SAW datang membawa sekerangjang kurma', Nabi bertanya: 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Maka dia menjawab: 'Saya', Bersabda Nabi: 'Ambillah olehmu kurma ini, maka sedekahkanlah' Maka bertanya laki-laki itu: 'Apakah ada orang yang lebih faqir dariku wahai Rasulullah? Maka demi Allah, tidak ada orang di antara dua bukit (kota Madinah) yang lebih faqir dari pada keluargaku'. Maka tertawalah Nabi SAW sehingga kelihatan giginya, lalu ia bersabda: 'Berilah makan keluargamu dengannya'". (H.R. Bukhari)
Dua hadis di atas menunjukkan kebijaksanaan sekaligus sikap toleransi Nabi kepada para sahabatnya yang sedang bermasalah dan meminta agar Rasul membantunya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kemudian Nabi SAW memahami kondisi dan kemampuan masing-masing sahabat dan tidak menerapkan hukum yang kaku tanpa melihat persoalan yang sesungguhnya. Begitulah Rasulullah SAW membina kepribadian sahabat sehingga mereka taat melaksanakan risalah yang dibawanya dengan suka hati, tanpa merasa terpaksa.[9]
Individu merupakan makhluk sosial dan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing (unik). Oleh karena itu konselor di sekolah dituntut untuk berpandangan positif dan tidak membeda-bedakan peserta didik. Mampu memahami dan menghargai kelebihan serta kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Setiap individu mempunyai potensi yang perlu dikembangkan dan penyaluran yang tepat. Maka konselor mempunyai kewajiban untuk dapat mengembangkan dan menyalurkan pada tempat yang tepat.
Selain itu, bentuk lain dari sikap toleran konselor kepada peserta didik (kliennya) dapat dilihat ketika konselor yang dipercaya siswa dalam segala persoalannya maka konselor wajib menghargai siswa tersebut dengan cara merahasiakan semua persoalan pribadi yang dialami peserta didik dimana siswa tersebut tidak ingin orang lain mengetahui persoalannya. Sikap toleran juga bisa dilihat ketika konselor menghadapi klien yang sedang mengalami masalah stress. Dalam masalah ini, konselor mentolerir stress yang dialami klien dengan tidak memprotes apa yang dirasakan kliennya, namun ia justru memberi semangat dan motivasi agar kliennya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya itu.

C.    Pengertian Demokratis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demokratis adalah bersifat demokrasi atau bercirikan demokrasi. Demokrasi sendiri merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua pesertanya.
Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-ccratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan Negara dimana system pemerintahan kedaulatannya berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.[10]
Dalam kaitannya dengan konseling, Demokratis yang dimaksudkan sebagai karakter kepribadian konselor adalah sikap keterbukaan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan bimbingan konseling.
Seperti yang dikemukakan Rogers, setiap manusia adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan kuat untuk selalu bergerak kemuka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstruktif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Selain itu Rogers juga beranggapan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri.
Sikap  demokrasi  (demokratis)  dibutuhkan  dalam  proses  layanan  bimbingan dan konseling terutama ketika menerapkan metode Client-centered.  konselor lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien.

D.    Bentuk Demokratis yang Harus Dimiliki oleh Konselor
Di dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli. Konselor menerima konseli apa adanya dan bersedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis.
Konselor dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dadanya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa agar dapat mengungkapkan gagasan dan pikirannya ketika melaksanakan pelayanan konseling. Freirw mengatakan bahwa pendekatan yang membebaskan dalam arti konselor berperan sebagai facilitative a comvortable atau memfasilitasi kenyamanan  akan lenih membuat klien untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang nyata secara kritis. Sehingga membuat konselor lebih mudah dalam menganalisis masalah yang dikemukakan peserta didik.
Dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad, demokratis yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, yakni :
1.   Pembimbing/Konselor terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan kepadanya, dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkahlaku professional sebagaimana dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan konseling
2.      Konselor memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengennai alasan digunakannya tes  psikologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi klien
3.     Hasil tes psikologi harus diberitahukan kepada klien dengan disertai alasan-alasan tentang  kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan kepada pihak lain, sejauh pihak yang  diberitahu itu ada hubungannnya dengan usaha bantuan pada klien dan tidak merugikan      klien sendiri.[11]
Perwujudan demokratis dapat juga dilihat melalui kegiatan menghargai perbedaan. menerima perbedaan pendapat secara wajar, jujur dan terbuka serta saling menghormati. terbuka dan berani mengakui dan menerima bahwa pendapatnya belum tentu atau tidak dapat digunakan pada saat itu, atau dengan kata lain tidak dapat memaksakan kehendak satu sama lain.[12]
Carey mengungkapkan konselor juga harus terbuka terhadap perubahan dan mau mengambil risiko yang lebih besar. Mereka mengembangkan diri lebih luas dan menyadari bahwa makin banyak tuntutan makin besar resiko yang dihadapi. Mereka menunjukkan keinginan-keinginan dan keberanian untuk meninggalkan zona aman dari situasi yang sudah dikenalnya serta berrani menerima hal-hal baru yang belum diketahui dan memaksa mengetahui potensi diri yang belum dikenal mereka. jika sikap ini telah diaplikasikan dalam diri konselor, maka konselor dapat menjadi panutan atau model yang dapat dicontoh sebagai acuan dalam perubahan sikap perilaku individu.
Adminde menyatakan bahwa karakteristik kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor adalah sebagai berikut :
1.   Pendengar yang aktif, menjadi pendengar yang aktif bagi konselor sangat penting karena menunjang dengan penuh kepedulian, merangsang dan memberanikan klien untuk beraksi secara spontan terhadap konselor, menimbulkan situasi yang mengajarkan, klien membutuhkan gagasan gagasan baru.
2.      Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya. Konselor harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia umumnya dan siswa khususnya, misalnya memberikan kebebasan memilih. Ciri konselor yang mengembangkan kebebasan memilih, yaitu :
a.       Tidak pernah menyalahkan orang lain
b.      Tidak berprasangka negative terhadap orang lain
c.       Tidak menghadapi kebuntuan pikiran
d.      Melihat peluang yang tersedia
e.       Tidak bersifat menilai (judgemental)
Memberikan kebebasan memilih sangat penting dilakukan konselor misalnya dengan tidak menyalahkan keputusan siswa karena keputusan dalam konseling berada pada klien, tidak berprasangka negative atas pilihan siswa namun sebaliknya yaitu memberikan motivasi terhadap pilihan siswa tersebut karena konselor harus berfikiran jauh kedepan seperti melihat peluang baik dalam pilihan keputusan yang diambil klien (peserta didik) tersebut. Selain itu, konselor juga tidak boleh bersifat menilai (judgemental), tetapi konselor haruslah memotivasi dan memberikan pertimbangan agar siswa bisa berfikir dewasa serta bijak mengambil keputusan.

E.  Kesimpulan
Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu “tolerantia”, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya, tetapi didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agama, suku, golongan, ideologi, atau pandangannya. Seorang yang toleran berani mengadakan wawancara atau berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.
Dalam Mappiare dan Lutfi dijelaskan bahwa toleran berarti dapat menerima konseli apa adanya. Toleransi secara penuh diwujudkan konselor dengan cara sebagai berikut :
1.      memandang keburukan perilaku, kesalahan, atau ketidakmampuan konseli merupakan bagian utuh dari diri konseli;
2.      membiarkan konseli mengungkapkan buah pikirannya tentang diri, lingkungan, dan mungkin tentang konselor, apapun bentuk yang dia pilih (sepanjang masih dalam batas kewajaran); dan
3.      menghindari sejauh mungkin perlakuan kritik, celaan, sampai konseli merasa aman menerimanya. Dalam masyarakat Jawa, toleran membentuk kehidupan rukun dan memiliki kedudukan amat penting dalam masyarakat Jawa
Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Dalam kaitannya dengan konseling, Demokratis yang dimaksudkan sebagai karakter kepribadian konselor adalah sikap keterbukaan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan bimbingan konseling
Dikutip oleh Syahril dan Riska Ahmad, demokratis yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, yakni :
1.      Pembimbing/Konselor terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan kepadanya, dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkahlaku professional sebagaimana dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan konseling
2.      Konselor memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengennai alasan digunakannya tes psikologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi klien
3.      Hasil tes psikologi harus diberitahukan kepada klien dengan disertai alasan-alasan tentang kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan kepada pihak lain, sejauh pihak yang diberitahu itu ada hubungannnya dengan usaha bantuan pada klien dan tidak merugikan klien sendiri.




[1] http://layananinfobk.blogspot.co.id/2013/04/bk-sosial-toleransi.html diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:17 WIB
[2] http://wardonojakarimba.blogspot.co.id/2011/12/toleransi.html diakses tanggal 28 Spetember 2015 pukul 7:25 WIB
[3] Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum.jurnal Toleransi dalam Masyarakat Plural.
[5] Mamat Supriana.2011.Bimbingan dan Konseling berbasis Kompetensi (orientasi dasar pengembangan profesi konselor.hlm 23-25
[6] Sari Titisandy.2011.Sikap Dasar Konselor Dan Teknik Pengubahan Tingkah Laku Khas Budaya Indonesia.Jurnal Universitas Negeri Malang
[7] Mappiare, A. 2006. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 99
[8] Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 84
[10] Riyanto, Achmad.2010.Konsep Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin Iskandar.Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[11] Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 85
[12] Nur Cahyati dkk.2012.Pengelolaan Pembelajaran Sikap Demokratis di SMP Muhammadiyah 1 Kartasura. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta hlm 5 


DAFTAR PUSTAKA

Mappiare, A. 2006. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta
Mamat Supriana.2011.Bimbingan dan Konseling berbasis Kompetensi (orientasi dasar pengembangan profesi konselor.Jakarta:Grafindo Persada
Nur Cahyati dkk.2012.Pengelolaan Pembelajaran Sikap Demokratis di SMP Muhammadiyah 1 Kartasura. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta hlm 5
Riyanto, Achmad.2010.Konsep Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin Iskandar.Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum.jurnal Toleransi dalam Masyarakat Plural.
Sari Titisandy.2011.Sikap Dasar Konselor Dan Teknik Pengubahan Tingkah Laku Khas Budaya Indonesia.Jurnal Universitas Negeri Malang
http://wardonojakarimba.blogspot.co.id/2011/12/toleransi.html diakses tanggal 28 Spetember 2015 pukul 7:25 WIB
http://layananinfobk.blogspot.co.id/2013/04/bk-sosial-toleransi.html diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:17 WIB

0 komentar:

Posting Komentar