A.
Pengertian
Sikap Toleran
Menurut
kamus bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwodarminto pengertian sikap adalah
perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma norma yang ada di
masyarakat dan biasanya norma agama. Namun demikian perbuatan yang akan
dilakukan manusia biasanya tergantung apa permasalahannya serta benar-benar
berdasarkan keyakinan atau kepercayaannya masing-masing.[1]
Kata toleransi
sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris
“tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata
toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current
English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs, customs,
behaviors, etc, different from one’s own. [2]
Toleransi berasal dari
bahasa latin, yaitu “tolerantia”, berarti kelonggaran, kelembutan hati,
keringanan dan kesabaran. Secara umum
istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan
saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan
karakter manusia. Untuk itu toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan
yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama.
Singkatnya toleransi setara dengan sikap positif dan menghargai orang lain dalam
rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleran adalah
bersifat atau bersikap menegang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.
Menurut Habib Adnan, sikap toleran (toleransi) merupakan
bagian dari hubungan antar sesama individu, sekaligus sebagai ekspresi fitrah
manusia selaku makhluk sosial. Pengertian ini mengandung aspek sebagai berikut
:
1.
Hubungan
antar sesama individu,
2.
Saling
menghormati perbedaan setiap kekurang individu tersebut.
Dari definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan
bahwa toleransi adalah suatu bentuk dari seseorang untuk menghargai pendapat
orang lain, tolong menolong, saling menghormati , membiarkan dalam hubungan
antar sesama manusia selaku manusia mahluk sosial untuk menjalankan dan
menentukan sikap, tidak melanggar, dan terciptanya kertertiban dan kedamaian
dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang
dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya,
dan didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan
keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agama, suku, golongan, ideologi, atau
pandangannya. Dengan kata lain, toleransi memiliki batasan – batasan ide, atau
gagasan maupun tindakan yang akan di toleran.
Seorang yang toleran berani mengadakan wawancara atau
berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam
pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak
mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.[4]
Bentuk sikap toleran dapat diaplikasikan terutama ketika
menggunakan metode Rasional-Emotif. Menurut Ellis, manusia memiliki potensi
yang luar biasa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya serta dapat
mengubah diri dan lingkungannya. Perilaku ini didorong oleh kebutuhan, hasrat,
tuntutan, keinginan yang ada dalam dirinya. Konsekuensi reaksi yang dimunculkan
seperti senang, sedih, frustasi dan sebagainya bukanlah akibat dari peristiwa
yang dialami individu melainkan disebabkan karena cara berfikir atau system
kepercayaannya. Atau dengan kata lain metode ini digunakan untuk memahami
manusia sebagaimana adanya. Jadi dalam metode ini, konselor dituntut untuk bisa
memahami cara berfikir atau system kepercayaan klien sehingga konselor
benar-benar mendapatkan akar masalah klien dengan valid atau akurat,
B.
Bentuk Sikap Toleran yang Harus
Dimiliki oleh Konselor
Bertolak dari Undang-Undang RI No.20/Tahun 2003 Pasal (1)
yang menyatakan pendidikan merupakan “…usaha sadar untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatas spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”
Maka konselor seyogyanya memiliki ciri kepribadian
menghargai harkat dan martabat manusia dan hak asasinya serta bersikap
demokratis. Karakteristik ini menunjuk kepada suatu perlakuan konselor terhadap
konseli dengan didasarkan pada anggapan bahwa konseli sama dengan dirinya
sendiri sebagai makhluk yang mempunyai harkat dan martabat mulia. Konseli
memiliki hak asasi yang harus dihargai dan tidak boleh diabaikan dalam
perlakuan-perlakuan konselor kepadanya. Disamping itu, konselor tidak boleh
membeda-bedakan perlakuan kepada konseli. Hendaknya konseli diperlakukan sama
dan sederajat baik dengan konselor maupun dengan konseli lainnya.
Corey mengemukakan bahwa konselor juga mau dan mamapu
menerima dan memberikan toleransi terhadap ketidakmenentuan. Karena pertumbuhan
ditandai dengan ditinggalkannya sesuatu yang sudah biasa dan memasuki sesuatu
yang tidak atau belum dikenal. Ketidakmenentuan (ambiguity) dalam hidup tidak
dianggap sebagai ancama, tetapi merupakan sesuatu yang menarik. Maksudnya
ketika membentuk kekuatan-kekuatan ego dalam proses rasional-emotif, konselor
mengambangkan karakteristiknya yang menggambarkan lebih percaya diri, lebih
percaya pada proses intuitif, sehingga konseli lebih ingin tahu atau terdorong
untuk melakukan eksperimen-eksperimen dengan perilaku baru, dan lebih percaya
pada perasaan—perasaan dan pertimbangan diri sampai pada pemahaman bahwa mereka
dapat dipercaya oleh orang lain khususnya konseli. Sehingga konseli merasa
yakin dan percaya kepada si konselor untuk menceritakan masalahnya.[5]
Dalam Mappiare dan Lutfi dijelaskan bahwa toleran berarti
dapat menerima konseli apa adanya. Toleransi secara penuh diwujudkan konselor
dengan cara sebagai berikut :
1.
Memandang
keburukan perilaku, kesalahan, atau ketidakmampuan konseli merupakan bagian
utuh dari diri konseli;
2.
Membiarkan
konseli mengungkapkan buah pikirannya tentang diri, lingkungan, dan mungkin tentang
konselor, apapun bentuk yang dia pilih (sepanjang masih dalam batas kewajaran);
dan
3. Menghindari
sejauh mungkin perlakuan kritik, celaan, sampai konseli merasa aman
menerimanya. Dalam masyarakat Jawa, toleran membentuk kehidupan rukun dan memiliki
kedudukan amat penting dalam masyarakat Jawa.[6]
Konselor harus menghormati budaya dan tradisi konseli.
Konselor berhak mengubah kebiasaan yang merugikan atau menghambat perkembangan
konseli, memberikan pengarahan dan pemahaman dengan cara halus, tidak
menerapkan punishment (hukuman), serta menunjukkan keakraban agar
konseli merasa nyaman, aman, dan percaya pada konselor.[7]
Disamping rumusan diatas, dikutip oleh Syahril dan Riska
Ahmad, sikap toleran yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia,
yakni :
1.
Pembimbing/Konselor
menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
2. Pembimbing/Konselor
tidak membedakan klien atas dasar suku bangsa, warna kulit, kepercayaan atau status social
ekonominya.[8]
Sikap toleran dalam proses konseling juga telah diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Misalnya,
toleransi nabi terlihat dalam hadis tentang orang yang bersetubuh di siang hari
Ramadhan dalam keadaan puasa. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia
berkata yang artinya:
"Ketika
kami duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seseorang lalu berkata: 'Ya Rasulullah, celakalah aku'. Rasul
bertanya: ' Apa yang
mencelakakanmu ?' Ia menjawab:
'Saya menggauli istri Saya, sedangkan Saya berpuasa (Ramadhan). Rasulullah SAW
bertanya: 'Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab:
'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan
berturut-turut?', Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah
kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?' Ia pun menjawab: 'Tidak'. Berkata Abu
Hurairah, 'Maka pergi Nabi SAW, sesaat kemudian kami melihat Nabi SAW datang
membawa sekerangjang kurma', Nabi bertanya: 'Manakah orang yang bertanya tadi?'
Maka dia menjawab: 'Saya', Bersabda Nabi: 'Ambillah olehmu kurma ini, maka
sedekahkanlah' Maka bertanya laki-laki itu: 'Apakah ada orang yang lebih faqir
dariku wahai Rasulullah? Maka demi Allah, tidak ada orang di antara dua bukit
(kota Madinah) yang lebih faqir dari pada keluargaku'. Maka tertawalah Nabi SAW
sehingga kelihatan giginya, lalu ia bersabda: 'Berilah makan keluargamu
dengannya'". (H.R. Bukhari)
Dua
hadis di atas menunjukkan kebijaksanaan sekaligus sikap toleransi Nabi kepada
para sahabatnya yang sedang bermasalah dan meminta agar Rasul membantunya untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Kemudian Nabi SAW memahami kondisi dan
kemampuan masing-masing sahabat dan tidak menerapkan hukum yang kaku tanpa
melihat persoalan yang sesungguhnya. Begitulah Rasulullah SAW membina
kepribadian sahabat sehingga mereka taat melaksanakan risalah yang dibawanya
dengan suka hati, tanpa merasa terpaksa.[9]
Individu merupakan makhluk sosial dan mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing-masing (unik). Oleh karena itu konselor di sekolah
dituntut untuk berpandangan positif dan tidak membeda-bedakan peserta didik.
Mampu memahami dan menghargai kelebihan serta kelemahan yang dimiliki oleh
masing-masing peserta didik. Setiap individu mempunyai potensi yang perlu
dikembangkan dan penyaluran yang tepat. Maka konselor mempunyai kewajiban untuk
dapat mengembangkan dan menyalurkan pada tempat yang tepat.
Selain itu, bentuk lain dari sikap
toleran konselor kepada peserta didik (kliennya) dapat dilihat ketika konselor
yang dipercaya siswa dalam segala persoalannya maka konselor wajib menghargai
siswa tersebut dengan cara merahasiakan semua persoalan pribadi yang dialami
peserta didik dimana siswa tersebut tidak ingin orang lain mengetahui
persoalannya. Sikap toleran juga bisa dilihat ketika konselor menghadapi klien
yang sedang mengalami masalah stress. Dalam masalah ini, konselor mentolerir
stress yang dialami klien dengan tidak memprotes apa yang dirasakan kliennya,
namun ia justru memberi semangat dan motivasi agar kliennya dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya itu.
C.
Pengertian
Demokratis
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Demokratis adalah bersifat demokrasi atau bercirikan demokrasi.
Demokrasi sendiri merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua pesertanya.
Secara etimologis,
demokrasi terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau
penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan
kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-ccratos (demokrasi)
memiliki arti suatu keadaan Negara dimana system pemerintahan kedaulatannya
berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.[10]
Dalam kaitannya dengan konseling,
Demokratis yang dimaksudkan sebagai karakter kepribadian konselor adalah sikap keterbukaan untuk memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada klien guna mengekspresikan gagasan dan
pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan bimbingan konseling.
Seperti yang dikemukakan Rogers,
setiap manusia adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki
dorongan kuat untuk selalu bergerak kemuka, berjuang untuk berfungsi,
kooperatif, konstruktif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu
mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Selain itu Rogers juga beranggapan
bahwa manusia memiliki kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengendalikan
dirinya sendiri.
Sikap demokrasi (demokratis) dibutuhkan dalam proses
layanan bimbingan dan konseling terutama ketika
menerapkan metode Client-centered. konselor lebih banyak memberikan kesempatan
kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya,
dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien.
D.
Bentuk Demokratis yang Harus Dimiliki oleh Konselor
Di dalam proses konseling, konselor
adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli. Konselor menerima konseli
apa adanya dan bersedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi
masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis.
Konselor dibutuhkan keterbukaan dan
sikap lapang dadanya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
agar dapat mengungkapkan gagasan dan pikirannya ketika melaksanakan pelayanan
konseling. Freirw mengatakan bahwa pendekatan yang membebaskan dalam arti
konselor berperan sebagai facilitative a comvortable atau memfasilitasi
kenyamanan akan lenih membuat klien
untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang nyata secara kritis. Sehingga
membuat konselor lebih mudah dalam menganalisis masalah yang dikemukakan
peserta didik.
Dikutip
oleh Syahril dan Riska Ahmad, demokratis yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia, yakni :
1. Pembimbing/Konselor
terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan kepadanya, dalam
hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkahlaku professional sebagaimana
dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan konseling
2. Konselor
memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengennai alasan digunakannya tes psikologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi klien
3. Hasil
tes psikologi harus diberitahukan kepada klien dengan disertai alasan-alasan
tentang kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan kepada pihak lain,
sejauh pihak yang diberitahu itu ada hubungannnya dengan usaha bantuan pada
klien dan tidak merugikan klien sendiri.[11]
Perwujudan
demokratis dapat juga dilihat melalui kegiatan menghargai perbedaan. menerima
perbedaan pendapat secara wajar, jujur dan terbuka serta saling menghormati.
terbuka dan berani mengakui dan menerima bahwa pendapatnya belum tentu atau
tidak dapat digunakan pada saat itu, atau dengan kata lain tidak dapat
memaksakan kehendak satu sama lain.[12]
Carey
mengungkapkan konselor juga harus terbuka terhadap perubahan dan mau mengambil
risiko yang lebih besar. Mereka mengembangkan diri lebih luas dan menyadari bahwa
makin banyak tuntutan makin besar resiko yang dihadapi. Mereka menunjukkan
keinginan-keinginan dan keberanian untuk meninggalkan zona aman dari situasi
yang sudah dikenalnya serta berrani menerima hal-hal baru yang belum diketahui
dan memaksa mengetahui potensi diri yang belum dikenal mereka. jika sikap ini
telah diaplikasikan dalam diri konselor, maka konselor dapat menjadi panutan
atau model yang dapat dicontoh sebagai acuan dalam perubahan sikap perilaku
individu.
Adminde menyatakan bahwa karakteristik kompetensi
kepribadian yang harus dimiliki konselor adalah sebagai berikut :
1. Pendengar yang aktif, menjadi
pendengar yang aktif bagi konselor sangat penting karena menunjang dengan penuh
kepedulian, merangsang dan memberanikan klien untuk beraksi secara spontan
terhadap konselor, menimbulkan situasi yang mengajarkan, klien membutuhkan
gagasan gagasan baru.
2. Menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia sesuai dengan hak asasinya. Konselor harus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia umumnya dan siswa khususnya, misalnya memberikan
kebebasan memilih. Ciri konselor yang mengembangkan kebebasan memilih, yaitu :
a. Tidak pernah menyalahkan orang lain
b. Tidak berprasangka negative terhadap
orang lain
c. Tidak menghadapi kebuntuan pikiran
d. Melihat peluang yang tersedia
e. Tidak bersifat menilai (judgemental)
Memberikan kebebasan memilih sangat penting dilakukan
konselor misalnya dengan tidak menyalahkan keputusan siswa karena keputusan
dalam konseling berada pada klien, tidak berprasangka negative atas pilihan
siswa namun sebaliknya yaitu memberikan motivasi terhadap pilihan siswa
tersebut karena konselor harus berfikiran jauh kedepan seperti melihat peluang
baik dalam pilihan keputusan yang diambil klien (peserta didik) tersebut.
Selain itu, konselor juga tidak boleh bersifat menilai (judgemental), tetapi
konselor haruslah memotivasi dan memberikan pertimbangan agar siswa bisa
berfikir dewasa serta bijak mengambil keputusan.
E. Kesimpulan
Toleransi
berasal dari bahasa latin, yaitu “tolerantia”, berarti kelonggaran, kelembutan
hati, keringanan dan kesabaran. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang
dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya,
tetapi didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan
keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agama, suku, golongan, ideologi, atau
pandangannya. Seorang yang toleran berani mengadakan wawancara atau berdialog
dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam pengalaman
orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan
prinsip-prinsip yang diyakini.
Dalam Mappiare dan Lutfi dijelaskan bahwa toleran berarti
dapat menerima konseli apa adanya. Toleransi secara penuh diwujudkan konselor
dengan cara sebagai berikut :
1.
memandang
keburukan perilaku, kesalahan, atau ketidakmampuan konseli merupakan bagian
utuh dari diri konseli;
2.
membiarkan
konseli mengungkapkan buah pikirannya tentang diri, lingkungan, dan mungkin
tentang konselor, apapun bentuk yang dia pilih (sepanjang masih dalam batas
kewajaran); dan
3.
menghindari
sejauh mungkin perlakuan kritik, celaan, sampai konseli merasa aman
menerimanya. Dalam masyarakat Jawa, toleran membentuk kehidupan rukun dan memiliki
kedudukan amat penting dalam masyarakat Jawa
Secara etimologis, demokrasi
terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk
suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan.
Dalam
kaitannya dengan konseling, Demokratis yang dimaksudkan sebagai karakter
kepribadian konselor adalah sikap
keterbukaan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien guna
mengekspresikan gagasan dan pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan
bimbingan konseling
Dikutip
oleh Syahril dan Riska Ahmad, demokratis yang dirumuskan oleh Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia, yakni :
1. Pembimbing/Konselor
terbuka terhadap saran atau pandangan yang diberikan kepadanya, dalam
hubungannya dengan ketentuan-ketentuan tingkahlaku professional sebagaimana
dikemukakan dalam kode etik bimbingan dan konseling
2. Konselor
memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengennai alasan digunakannya tes
psikologi dan hubungannya dengan masalah yang dihadapi klien
3. Hasil
tes psikologi harus diberitahukan kepada klien dengan disertai alasan-alasan
tentang kegiatannya dan hasil tersebut dapat diberitahukan kepada pihak lain,
sejauh pihak yang diberitahu itu ada hubungannnya dengan usaha bantuan pada
klien dan tidak merugikan klien sendiri.
[1] http://layananinfobk.blogspot.co.id/2013/04/bk-sosial-toleransi.html
diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:17 WIB
[2] http://wardonojakarimba.blogspot.co.id/2011/12/toleransi.html
diakses tanggal 28 Spetember 2015 pukul 7:25 WIB
[3]
Rosalina Ginting, Kiki Aryaningrum.jurnal Toleransi dalam Masyarakat Plural.
[4] http://sastriyani38.blogspot.co.id/2013/12/v-behaviorurldefaultvmlo_1499.html
diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:34 WIB
[5]
Mamat Supriana.2011.Bimbingan dan Konseling berbasis Kompetensi (orientasi
dasar pengembangan profesi konselor.hlm 23-25
[6]
Sari Titisandy.2011.Sikap Dasar Konselor Dan Teknik
Pengubahan Tingkah Laku Khas Budaya Indonesia.Jurnal
Universitas Negeri Malang
[7]
Mappiare,
A. 2006. Pengantar Konseling
dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 99
[8]
Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 84
[9] http://kandidatkonselor.blogspot.co.id/2013/02/akhlak-konselor-dalam-islam-a.html
diakses tanggal 29 September 2015 pukul 7:05 WIB
[10]
Riyanto, Achmad.2010.Konsep Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar
Tanjung dan A. Muhaimin Iskandar.Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[11]
Soetjipto, Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 85
[12]
Nur Cahyati dkk.2012.Pengelolaan Pembelajaran Sikap Demokratis di SMP
Muhammadiyah 1 Kartasura. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
hlm 5
DAFTAR
PUSTAKA
Mappiare, A. 2006. Pengantar Konseling dan Psikoterapi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soetjipto,
Raflis Kosasi.2007.Profesi Keguruan.Jakarta : Rineka Cipta
Mamat
Supriana.2011.Bimbingan dan Konseling berbasis Kompetensi (orientasi dasar
pengembangan profesi konselor.Jakarta:Grafindo Persada
Nur Cahyati dkk.2012.Pengelolaan Pembelajaran Sikap
Demokratis di SMP Muhammadiyah 1 Kartasura. Naskah Publikasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta hlm 5
Riyanto, Achmad.2010.Konsep
Demokrasi di Indonesia dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin
Iskandar.Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rosalina Ginting, Kiki
Aryaningrum.jurnal Toleransi dalam Masyarakat Plural.
Sari Titisandy.2011.Sikap Dasar Konselor Dan Teknik Pengubahan Tingkah Laku Khas Budaya Indonesia.Jurnal Universitas Negeri Malang
http://wardonojakarimba.blogspot.co.id/2011/12/toleransi.html
diakses tanggal 28 Spetember 2015 pukul 7:25 WIB
http://kandidatkonselor.blogspot.co.id/2013/02/akhlak-konselor-dalam-islam-a.html
diakses tanggal 29 September 2015 pukul 7:05 WIB
http://layananinfobk.blogspot.co.id/2013/04/bk-sosial-toleransi.html
diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:17 WIB
http://sastriyani38.blogspot.co.id/2013/12/v-behaviorurldefaultvmlo_1499.html
diakses tanggal 28 September 2015 pukul 6:34 WIB
0 komentar:
Posting Komentar